"The Lost Generation"

"The Lost Generation"

14 Juli 2021, 11:03


Lilian Nema*


Tahun 2019

“Ma, semua temanku sudah dibelikan hp. Aku kapan?” rengek Adit. 

“Beli hp buat apa Nak? Kan bisa pinjam punya mama,” jawab mama.

“Tapi kan sekolahnya sekarang lewat hp. Kalau mama pergi, aku gimana?” argumen bocah kelas 3 SD itu membuat mama berpikir dalam. 


Tahun 2020

Siang itu matahari seolah membakar bumi dengan cahayanya yang menyilaukan.

"Adit, makan dulu sayang!"

"Bentar Ma, lagi asyik nih," jawab Adit tanpa mengalihkan pandangannya dari tablet hitam kesayangannya.

5 menit berlalu, 10 menit hingga 30 menit terlewat, Adit tetap tak beranjak dari kamarnya. 

Tok...tok...tok...

"Boleh mama masuk Nak?" Lembut suara mama dari balik pintu.

"Iya Ma," jawab Adit singkat.

Pintu terbuka perlahan. Tampak Adit yang masih mengenakan seragam tengkurap diatas kasur dengan tablet di tangan. Pembelajaran jarak jauh akibat pandemi Covid-19 secara tak langsung menjadikan anak-anak lebih sering bersinggungan dengan gadget.

"Ya Allah Adit, kok belum ganti baju, Nak? Besok seragamnya kan dipakai lagi." 

Seolah tak mendengar kata-kata mamanya, Adit tak bergeming.

"Makan dulu yuk, Nak," perlahan tangan mama mengusap rambut ikal Adit.

"Ayo Dit, nanti kamu bisa sakit kalau terus-terusan telat makan."

"Mama ganggu aja sih! Adit nggak lapar Ma. Lagian nanggung nih game-nya," ujar Adit sewot.

"Astaghfirullah Adit," Mama mengelus dadanya yang tiba-tiba terasa nyeri. Rasa sesal menyeruak “Harusnya aku tidak menuruti keinginan Adit untuk memiliki tablet”.


Tahun 2021

"Pa, anak kita kenapa ini? Cepat kesini Pa!” teriakan mama membuat papa segera beranjak ke kamar Adit. Sesampainya di kamar, papa terkejut melihat anak semata wayangnya kejang dengan pandangan mata kosong.

“Adit kenapa Ma, kok seperti ini?” kecemasan nampak jelas di raut wajah papa.

“Nggak tau Pa, tadi mama mau ngajak dia makan. Saat masuk kamar, anaknya sudah seperti ini,” ucap mama sambil terisak. Tanpa bicara lagi, papa mengangkat tubuh Adit ke mobil. Rumah sakit adalah tujuannya.

Pada akhirnya papa dan mama harus menelan pil pahit. Adit telah menjadi korban kecanduan gadget akut. Tubuhnya kehilangan kontrol atas saraf gerak diri.

“Kalau saja kita lebih bijak mengarahkan Adit dalam penggunaan gawai, mungkin semua ini tidak akan terjadi Ma,” lirih papa penuh penyesalan. 


Tahun 2025

Semua media informasi terus mengkampanyekan pentingnya beralih ke dunia digital. Para penyiar berita mengungkapkan tentang kemajuan suatu bangsa terletak pada kecanggihan teknologinya. Berangsur tapi pasti, masyarakat mulai menelan mentah-mentah semua berita dan promosi yang ada. Semua orang dewasa dan juga anak-anak tidak ada yang tidak berhandphone atau ipon. Banyak terlihat orang berjalan berdua, duduk bersama, namun tanpa bicara. Mereka sibuk dengan dunia yang kini dalam genggamannya.

“Kita akan buat masyarakat tergantung pada kita. Sehingga kebijakan apapun yang kita keluarkan, tidak akan ada satu orang pun yang berani menentang.” Terdengar tawa diakhir kalimatnya. 

Pemerintah pun mulai memberikan fasilitas tanpa batas untuk mereka yang mampu menembus level tertinggi dalam permainan maya. Spontan semua orang berkompetisi untuk meraihnya. Bangku-bangku sekolah mulai ditinggalkan, gedung-gedung penelitian taklagi termanfaatkan.

Negara tidak lagi produktif. Masyarakat dicetak untuk jadi penikmat. Tak ada lagi semangat belajar dan berkarya. Semua menjadi serba instan.  Kini negeri zamrud katulistiwa telah menjadi surga dunia bagi pecinta permainan fana. Manusia hampir tak terdengar lagi suaranya.  


Tahun 2225

Hari mulai petang. Berangsur matahari menghilang di batas cakrawala. Suara decit roda mesin makin nyaring seiring usianya yang takvlagi muda. Layar besar yang menawarkan berbagai macam game beserta kelebihannya pun sudah tak lagi setajam awal peluncurannya. 

Tampak hilir mudik manusia-manusia berkursi mesin. Bukan karena penyakit atau tak mampu berjalan, tapi mereka adalah pecandu game online. Semua penduduk kota itu tak lagi hidup di dunia nyata. Kehidupan mereka hanya terpaku pada layar 10 inci yang menyatu dengan kursi mesin yang tak pernah mereka turun dari atasnya.

Semua kebutuhan makan dan minum telah tersedia dalam satu kapsul saja. Tanpa perlu repot memasak dan menyiapkan peralatan makan.

Tak ada lagi orang yang saling bertegur sapa untuk sekedar bertanya kabar sahabat dan keluarga.

“Pak Perdana Mentri, negara mengalami kerugian,” seorang lelaki berperut buncit menyampaikan laporannya.

“Kalau begitu kurangi pasokan fasilitas untuk rakyat.” 

“Itu berarti kita akan kehilangan sejumlah warga Pak.”

“Tak apa mengorbankan satu atau dua nyawa, agar kita bisa bertahan.”

“Baik Pak.” 

Sang menteri pun memerintahkan ajudannya untuk mencabut saluran fasilitas dari negara untuk lima ratus orang.

Satu per satu layar yang sedang dinikmati lima ratus orang itu mati. Tubuh mereka menggelepar, terguncang dan kemudian tak lagi bergerak. Tak ada seorang pun yang perduli akan jasad mereka. Sampai datang truk besar yang mengangkat mereka dan melemparkannya kedalam bak truk bagaikan sedang melempar sampah.

Kondisi mulai sedikit membaik. Namun itu tak bertahan lama. Devisa negara kembali terkuras hingga hampir tak bersisa. Semua demi menopang kebutuhan masyarakat yang tidak lagi bekerja dan pejabat yang dengan tega menguras kas negara demi kesenangan pribadi semata. Tak ada pilihan lagi, akhirnya semua fasilitas negara dihapuskan. Layar-layar pun mati. Tetiba semua orang menggeliat, meronta mengeluarkan suara parau tak bermakna. Suara yang telah sekian tahun tak terdengar. Seketika itu, mayat-mayat tergeletak dimana-mana, layaknya daging yang tak berguna.


Tahun 3223

Seorang wanita berjilbab masuk ke sebuah ruangan dengan anggun. Senyumnya menampakkan kepribadian yang bersahaja. Setiap mata mengarah kepadanya dengan penuh pesona. “Assalamu’alaikum Anak-anak,” suaranya terdengar renyah lagi ramah.

“Wa’alaikumussalam Bu guru,” kompak para siswa menjawab.

Terlihat semangat belajar yang luar biasa di setiap mata anak-anak. Ibu guru pun begitu antusias berusaha mencerdaskan anak-anak didiknya.

“Dahulu pada awal abad ke-20, ada sebuah negeri kaya nan elok. Allah SWT. melimpahkan kenikmatan tiada tara di dalamnya. Kekayaannya meliputi lautan dan daratan. Setiap yang ditanam di tanahnya, selalu tumbuh dan subur. Lautannya pun dipenuhi ikan beraneka macam. Masyarakatnya ramah dan suka bergotong royong.” Anak-anak mendengarkan dengan takjub.

“Hingga kemudian, Allah menguji mereka dengan kemajuan luar biasa yang disebut teknologi. Setiap orang mulai berlomba-lomba agar mendapat gelar tak ketinggalan jaman. Satu persatu mereka mulai lupa akan tugas dan kewajiban sebagai manusia yang bertuhan. Akhirnya, negeri itu dibinasakan. Dan saat ini, negeri itu telah terhapus dari peta dunia.”

Kengerian tampak di wajah siswa-siswi. Seolah tak sabar mendengar kelanjutan cerita, seorang anak bertanya, “Negeri apakah itu Bu guru?”

Ibu guru tersenyum dan berkata, “Nama negeri itu adalah …”


*Lilian Nema adalah nama pena dari Lilian Netya Al Mabruroh, ketua bidang Humas DPD PKS Kabupaten Kediri

Cerpen ini telah diterbitkan dalam buku antologi Pembelajaran Jarak Jauh, Pustaka Publishing, 2021.

TerPopuler