Belajar Otoritas dari Covid-19

Belajar Otoritas dari Covid-19

17 Juli 2021, 10:21
Ilustrasi (pexels.com)


Mana Corona? Tak terlihat, mana buktinya Corona ada? Begitulah satu dari sekian syubhat kaum anti Covid-19 bersanggah. Seolah semua RS yang over load pasien Covid, di setiap gang kampung dan perumahan terpasang bendera kuning, setiap hari ada pengumuman orang meninggal dunia dan hampir di semua grup sosial media kita harus mengucapkan doa takziyah, yang bisa jadi sebagiannya adalah orangtua, anak, saudara dan tetangga kita, bukanlah tanda bahwa Corona/Covid-19 itu nyata.

Tidak semua harus 'terbukti'. Buktinya Professor pun percaya saja apa yang diucapkan Pilot atau Pramugari soal penerbangan saat naik pesawat, kita pun percaya saja kata orang kalau bapak ibu kita adalah benar bapak ibu kita sendiri, kita tidak minta tes DNA segala, kita percaya kata Guru fisika kita kalau kecepatan cahaya itu sekian per sekian atau jarak bumi ke Matahari sekian kecepatan cahaya, belum ada dari kita yang mau mencoba mengukur jarak sebenarnya secara langsung.

Maka dalam Islam salah satu sumber kebenaran itu adalah Khobar Shodiq (berita yang benar). Jadi soal 'taklid' kepada dokter sah-sah saja selama dokternya terpercaya dan kita memang tidak memiliki ilmu tentangnya. Celakanya, kadang kita lebih percaya kepada hasil gugling beberapa menit daripada hasil belajar dan penelitian belasan bahkan puluhan tahun. Kita lebih percaya kepada yang baru kita duga dan kira sementara pihak otoritatif tidak kita percaya.

Di sinilah pentingnya kita memegang prinsip otoritas. Tentang siapa yang ahli dan berwenang. Siapa yang otoritatif tentang sesuatu. Tentang agama tentu Ulama yang otoritatif bicara agama. Soal medis tentu dokter dan ahli kesehatan yang otoritatif bicara penyakit, obat dan sebagainya. Mau masak sayur tidak mungkin belanja ke bengkel motor. Mau pelihara sapi tidak mungkin minta petunjuk ke ahli nuklir. Semua harus sesuai keahliannya. Jika tidak, rusak kehidupan.

Al Qur'an sejak awal bicara soal otoritas ini di antaranya; An Nahl 43, Al Isro 36, 84. Allah SWT berfirman:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ فَاسْـَٔلُوْٓا اَهْلَ الذِّكْرِ اِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَۙ

"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui". (QS. An Nahl: 43)

Ayat ini menetapkan pelajaran bagi kita bahwa ada kewajiban untuk bertanya kepada ahlinya, kepada yang berilmu dan pakar tentang sesuatu. Tidak boleh kita 'sok tahu', sikap 'sok tahu' bukan hanya akan mencelakakan diri sendiri tetapi juga orang lain. Untuk itulah dalam hal apapun apabila kita tidak paham sudah semestinya kita bertanya kepada yang paham atau lebih paham.

Hal itu Allah SWT tegaskan pula dalam ayat yang lain;

وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا

"Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya." (QS. Al Isra: 36)

Ayat ini menegaskan bahwa tidak sepantasnya kita berbicara dan bersikap terhadap hal yang kita tidak memiliki ilmu tentangnya. Apabila kita bukan ahlinya, kita tidak kompeten, kita tidak paham janganlah sembarangan berkata dan bertindak. Kita harus senantiasa ingat bahwa sebagai Muslim kita berkeyakinan semua amal kita akan diminta pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Hujjatul Islam Imam Al Ghazali berkata;

لِأَجْلِ الجُهَّالِ كَثُرَ الخِلَافُ بَيْنَ النَّاسِ وَلوْ سَكَتَ مَنْ لَايَدْرِيْ لَقَلَّ الخِلَافُ بَيْنَ الخَلْقِ

“Karena orang-orang dungulah terjadi banyak kontroversi di antara manusia. Seandainya orang-orang yang bodoh berhenti bicara, niscaya berkuranglah pertentangan di antara sesama.” (“Faishilut Tafriqah bainal Islâm wal Zindiqah“)

Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengingatkan;

“Cukup seseorang dikatakan dusta, jika ia menceritakan segala apa yang ia dengar.” (HR.Muslim)

Perselisihan di dunia ini dipicu oleh ketidasanggupan kaum bodoh untuk berhenti menanggapi hal yang tidak ia pahami dan kuasai dengan baik. Harus diingat pula, manusia senantiasa dalam keterbatasan. Pandai dalam segala hal adalah sesuatu yang mustahil. Misalnya, orang yang mahir soal seni belum tentu ia mahir pula soal ekonomi; orang yang pandai tentang politik, belum tentu pandai pula di bidang agama. Begitu juga sebaliknya. Sehingga, yang dibutuhkan adalah rasa tahu diri akan kapasitas diri sendiri.

Kita juga diminta oleh agama untuk mengklarifikasi setiap informasi yang kita terima agar informasi yang kita terima adalah informasi yang benar dan manfaat. Allah Ta'ala berfirman;

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

"Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita penting, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan, kemudian akhirnya kalian menjadi menyesal atas perlakuan kalian." (Al-Hujurât: 6)

Islam mengajarkan dan menentukan adab dan etika pada semua hal termasuk adab berinformasi. Salah satu adab berinformasi yang Allah ajarkan dalam Al Qur'an terdapat pada surat An Nisaa: 114

لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا

"Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar."

Islam telah memberikan pengakuan bahwa setiap pekerjaan ada ahlinya dan harus dikerjakan oleh ahlinya secara professional. Allah Ta'ala berfirman;

قُلْ كُلٌّ يَّعْمَلُ عَلٰى شَاكِلَتِهٖۗ فَرَبُّكُمْ اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ اَهْدٰى سَبِيْلًا

"Katakanlah (Muhammad), “Setiap orang berbuat sesuai dengan pembawaannya (keahliannya) masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya." (QS. Al Isra: 84)

Itulah petunjuk dan ketentuan Al Qur'an tentang wajibnya kita menetapkan sesuatu sesuai otoritasnya. Sementara Rasulullah SAW juga memberikan panduan dalam hal yang sama dalam hadits- haditsnya. Di antaranya;

Dari Anas bin Malik ra.,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ بِقَوْمٍ يُلَقِّحُونَ فَقَالَ لَوْ لَمْ تَفْعَلُوا لَصَلُحَ قَالَ فَخَرَجَ شِيصًا فَمَرَّ بِهِمْ فَقَالَ مَا لِنَخْلِكُمْ قَالُوا قُلْتَ كَذَا وَكَذَا قَالَ أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِأَمْرِ دُنْيَاكُمْ

"Suatu ketika Nabi ﷺ melewati sahabatnya yang sedang mengawinkan kurma. Beliau ﷺ lalu bersabda, “Seandainya kalian tidak melakukan seperti itu pun, niscaya kurma itu tetaplah bagus.” Setelah beliau berkata seperti itu, mereka lalu tidak mengawinkan kurma lagi, namun kurmanya justru menjadi jelek. Ketika melihat hasilnya seperti itu, Nabi ﷺ bertanya, “Kenapa kurma itu bisa jadi jelek seperti ini?” Kata mereka, “Wahai Rasulullah, Engkau telah berkata kepada kami begini dan begitu…” Kemudian beliau ﷺ bersabda, “Kamu lebih mengetahui urusan duniamu.” (HR Muslim)

Dalam redaksi lain Rasulullah SAW menegaskan bahwa urusan dunia (selama tidak menyimpang dari kebenaran) silahkan jalankan sekreatif dan seinovatif mungkin. Tetapi kalau sudah urusan agama tanyakan kepadaku (Rasulullah). Hadits ini menjelaskan tentang pentingnya otoritas bahwa otoritas dalam agama ada pada Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW juga mengingatkan bahwa apabila suatu urusan tidak dipegang ahlinya akan terjadi kerusakan. Beliau pernah ditanya: kapan hari kiamat? Maka Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya:

«إِذَا وُسِدَ الأَمْرُ إلى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ»

“Apabila suatu perkara diserahkan kepada yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya”. (HR. Bukhari)

Demikian pula, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lebih tahu tentang ilmu pengobatan.

عَنْ سَعْدٍ، قَالَ: مَرِضْتُ مَرَضًا أَتَانِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعُودُنِي فَوَضَعَ يَدَهُ بَيْنَ ثَدْيَيَّ حَتَّى وَجَدْتُ بَرْدَهَا عَلَى فُؤَادِي فَقَالَ: «إِنَّكَ رَجُلٌ مَفْئُودٌ، ائْتِ الْحَارِثَ بْنَ كَلَدَةَ أَخَا ثَقِيفٍ فَإِنَّهُ رَجُلٌ يَتَطَبَّبُ فَلْيَأْخُذْ سَبْعَ تَمَرَاتٍ مِنْ عَجْوَةِ الْمَدِينَةِ فَلْيَجَأْهُنَّ بِنَوَاهُنَّ ثُمَّ لِيَلُدَّكَ بِهِنَّ

“Dari sahabat Sa’ad mengisahkan, pada suatu hari aku menderita sakit, kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjengukku, beliau meletakkan tangannya di tengah dadaku, sampai-sampai jantungku merasakan sejuknya tangan beliau. Kemudian beliau bersabda, ‘Sesungguhnya Engkau menderita penyakit jantung. Temuilah Al-Harits bin Kaladah dari Bani Tsaqif, karena sesungguhnya dia adalah seorang tabib (dokter). Dan hendaknya dia (Al-Harits bin Kaladah) mengambil tujuh buah kurma ‘ajwah, kemudian ditumbuk beserta biji-bijinya, kemudian meminumkanmu dengannya.” (HR. Abu Daud)

Kepada yang tidak percaya Covid dan yakin bahwa Covid adalah rekayasa politik dan ekonomi kapitalis, bahwa Covid adalah plandemi bukan pandemi, ketahuilah bahwa tidak mungkin semua dokter dan ahli medis di dunia ini berbohong. Tidak mungkin semua ulama dapat dibohongi. Mustahil semua negara dapat dikelabui. Bukankah Rasulullah juga pernah bersabda bahwa umatnya tidak akan bersatu dalam kesesatan. Tuduhnya, pandemi Covid-19 untuk pengerukan cuan oleh para kapitalis komunis Yahudi, tetapi apakah sebanding dengan kerugian mereka dari berbagai sektor industri dan usaha yang mereka miliki akibat pandemi? mereka mengalami kerugian yang sangat besar.

Jika benar flu, demam, batuk, sesak nafas adalah flu demam biasa, kenapa menyebabkan begitu banyak kematian secara massif dan serentak? Bukankah sebelum pandemi Covid19, flu dan semacamnya itu tidak menyebabkan akibat sangat buruk seperti saat ini?

Negara-negara lain mulai terbebas dari Covid. Kita justru parah sekali. Kenapa? Karena sikap dan penanganan kita tidak pernah beranjak lebih baik. Kita masih terjebak dan terus berdebat soal Covid nyata atau tidak. Habis energi kita untuk itu. Sudah 1,5 tahun kita masih dengan polosnya mempertanyakan Covid nyata atau tidak sementara korbannya terus berjatuhan sangat banyak. Akhirnya kita tidak menjadi lebih baik karena pemahaman tentang Covid ini pun tidak bertambah lebih baik.

Ada pun 'kemasygulan' kita kepada pemerintah yang tidak maksimal melindungi dan menyelamatkan warga negara dari Covid-19 tidaklah menghapus fakta bahwa Covid-19 itu nyata dan berbahaya. Haruskah dengan itu kita abai terhadap keselamatan diri dan keluarga kita sendiri. Maka minimalnya selamatkan diri kita dan keluarga. Ini perintah agama. Apabila seluruh keluarga Indonesia menjaga kesehatan dan keselamatan keluarganya masing-masing, insya Allah Indonesia sehat dan selamat.

Ujian itu nyata dan niscaya adanya. Bahkan kematian dan kehidupan pun adalah ujian (Al Mulk:2). Masalah kita bukan pada ujian atau musibahnya tetapi pada penyikapan akan ujian itu sendiri. Seseorang dinilai bukan pada berat ringannya musibah tetapi pada bagaimana sikapnya menghadapi musibah. Sudahkah sikap kita lebih baik dan lebih cerdas menghadapi musibah Covid-19?

"Allah yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa di antara kalian yang paling baik amalnya...."


Wildan Hasan
Pengurus MUI Pusat

TerPopuler