Asal Usul Sejarah Kalimat, "Daging Ulama Itu Beracun"

Asal Usul Sejarah Kalimat, "Daging Ulama Itu Beracun"

29 Juni 2021, 16:24
Foto: Masjid Istiqlal (2016)


Oleh: Gilang al-Qanuni


Omar Bakri Muhammad, dalam buku Ahlus-Sunnah wal Jamaah: Their Belief, Attributes, and Qualities. Menulis demikian, sikap Khalifah al-Ma'mun dalam soal status al-Qur'an telah ditetapkan. Penguasa Abbasiyah yang mengayomi mazhab Mu'tazilah ini memilih sikap al-Qur'an tidak lain kalamullah, yang serupa kita; makhluk. Bukan qadim, sebagaimana yang diyakini banyak ulama. Justru ingin pula dimantapkan untuk orang-orang yang tidak sependapat dengannya.


Sejatinya Khalifah al-Ma'mun merupakan pecinta pengetahuan,  menyukai kebebasan berpendapat dalam disiplin akademis. Entah mengapa, dalam isu khalq al-Qur'an ini, Khalifah tidak memberi ruang berbeda, semua mesti diseragamkan. Di kemilauan masa yang mengunggulkan pengetahuan, kepemimpinan al-Ma'mun pula menghadirkan kebijakan yang mencoreng kebesarannya.


Kebijakan dan keyakinan khalq al-Qur'an al-Ma'mun, sebenarnya ditentang banyak ulama di Baghdad. Tapi, dera yang berat membuat banyak ulama tidak butuh waktu lama untuk memilih. Dengan terpaksa dan berpura-pura, mayoritas ulama memilih mengikuti kaul al-Ma'mun, menyatakan bahwa kallamullah adalah makhluk. Meski isi hati menjerit keras, dari sekitar 3.500 ulama Bahdad pada masa itu, hanya tinggal 4 orang saja yang masih bertahan dengan keyakinan lama, sesuai Manhaj para sahabat Rasulullah Saw. Bahwa al-Qur'an itu, qadim bukan makhluk. Empat ulama itu adalah Ahmad bin Hambal, Muhammad bin Nuh, Ubaidillah al-Qawariri, dan Sujaddah bin Abdullah. Sudah takdirnya, empat ulama itu harus menerima konsekuensi akibat sikap berbeda dengan penguasa.


Penjara beserta hukuman penyertanya, suatu waktu membuat dua nama tadi berubah. Bukan karena meyakini kebenaran keyakinan al-Ma'mun. Siksa di penjara membuat Ubaidillah al-Qawariri dan Sujaddah bin Abdullah memilih berkompromi, bukan serta merta karena tunduk sebagaimana ribuan ulama di luar penjara. Besarnya siksaan algojo al-Ma'mun di satu sisi, dan keengganan untuk mengubah suara hati di sisi berbeda, menjadikan taktik bermain kata-kata ditempuh, semata untuk selamatkan nyawa.


Pembaca yang budiman, fenomena rusaknya misi ulama, dari dulu hingga kini masih menjadi penyakit yang mengakar di tubuh umat. Seperti kata Qasim A. Ibrahim, "Seseorang yang enggan menanggung risiko dan penderitaan dalam membela kebenaran, tidak pantas disebut ulama (alim)." Hatta, risiko sebagai minoritas, ketika banyak para alim pemandu umat justru berjamaah di barisan penyangga kekuasaan tiranik.


Menurut Iman al-Ghazali, prinsip dasar dari baik atau rusaknya suatu masyarakat terletak pada pola hubungan yang terbentuk antara aspek akidah, politik, dan sosial. Jika aqidah yang murni dan kokoh menjadi titik pusat aktivitas politik dan sosial. Dan ulama yang merupakan representasi aqidah itu mampu memainkan perannya dengan penuh keikhlasan, independen, dan memiliki pemahaman yang mendalam. Serta menempati posisi dominan dalam mengarahkan masyarakat, maka masyarakat itu akan menjadi baik dan semua aspek kehidupan menjadi teratur. Namun jika akidah di bawah pengaruh politik, sedangkan kredibilitas ulama yang merupakan representasi akidah jatuh karena membenarkan penyimpangan pemegang kendali politik. Maka kesenjangan dan kerusakan akan menimpa masyarakat, sehingga akhirnya benar-benar terpuruk dan hancur.


Pada dasarnya ketika Allah Swt menciptakan makhluk, dia menjadikan dunia sebagai bekal perjalanan kembali kepada-Nya. Dengan tujuan, agar manusia mengambil dari dunia itu bekal terbaik untuk kembali ke alam akhirat. Kalau saja manusia mengatur dunia dengan adil, maka tidak akan terjadi permusuhan. Namun yang terjadi adalah mereka mengaturnya dengan hawa nafsu, sehingga timbul permusuhan mereka. Lantas membutuhkan seorang penguasa yang mengaturnya, sementara penguasa membutuhkan peraturan sebagai acuan untuk mengatur rakyatnya. Faqih (ulama) adalah orang yang mengatur aturan politik dan cara menyelesaikan permasalahan masyarakat, jika terjadi perselisihan yang didorong oleh hawa nafsu masing-masing.


Dengan demikian, faqih (ulama) adalah guru dan penasehat penguasa yang menunjukkan kepadanya tata cara mengatur masyarakat. Sehingga dengan sikap penguasa yang benar, kehidupan duniawi masyarakat pun tertata rapi dan baik. Jika urusan duniawi mereka tertata rapi dan baik, maka jalan menuju akhirat menjadi benar dan lurus. Demikianlah hubungan antara agama dan dunia, karena dunia adalah ladang bagi akhirat. Agama adalah dasar, sedangkan penguasa adalah penjaga. Segala sesuatu yang tidak memiliki dasar akan hancur dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga akan terlantar.


Imam Al Ghazali menyimpulkan sifat ulama yang hidup pada zamannya, sebagai ulama dunia (ulama ad-dunya), bukan ulama agama (ulama ad-din), lalu menjelaskan maksud terminologi tersebut. "Maksud ulama dunia adalah ulama jahat (ulama as-su) yang menjadikan ilmu sebagai sarana untuk memperoleh kenikmatan dunia dan kehormatan, serta kedudukan tinggi di mata masyarakat."


Begitu juga dengan Syekh Abdul Qadir al-Jailani, ia mengecam kedekatan ulama dengan sultan, karena didorong oleh keinginan untuk mendapatkan keuntungan dari penguasa. Sebagaimana yang tercatat dalam kitab al-Fath ar-Rabbani;


"Sekiranya kamu benar-benar meraih buah dan berkah ilmu, tidak mungkin kamu pergi mengetuk pintu sultan demi mendapatkan kenikmatan dan memenuhi hasrat nafsumu. Bagi seorang ulama, kedua kakinya tidak pantas melangkah menuju pintu manusia. Bagi seorang ahli zuhud, kedua tangannya tidak layak mengambil harta manusia. Dan bagi seorang yang cinta dengan Allah Azza wa Jalla, kedua matanya tidak patut memandang kepada selain-Nya."


Lantas siapa sih kita ini, yang tak mampu melihat dalamnya isi hati manusia. Dengan mudahnya menuduh sesat para alim, apatah lagi punya hubungan baik dengan kekuasaan. Mungkin perlulah husnudzon kepada para pemandu umat, sesiapa saja mampu membersihkan prasangka jemawa kita. Dan patik teringat pesan yang berharga, bak mutiara ini: "Saudaraku, ketahuilah bahwa daging ulama itu beracun," begitulah kata Ibnu Asakir, ulama pakar hadis & sejarah asal Damaskus. 


Maksudnya, siapa pun yang telah memfitnah mereka, pasti akan terkena nasib buruk; bagaikan tubuh yang terkena racun. []





Referensi:

Dr. Majid Irsan al-Kilani. 2019. Model Kebangkitan Umat Islam; Upaya 50 Tahun Gerakan Pendidikan Melahirkan Generasi Salahuddin dan Merebut Palestina. Depok: Penerbit Mahdara Publishing. 

Yusuf Maulana. 2019. Seteru Berjamaah; Interaksi Kekuasaan dan Gerakan Dakwah. Malang: Penerbit Sabuk Pustaka.

TerPopuler